Tuesday, October 16, 2012

Kian banyak bola dihalau, rezeki makin berkilau

Membuka usaha lapangan golf driving range memang membutuhkan modal yang tidak sedikit. Namun  demikian, seiring potensi bisnis yang semakin meningkat, peluang untuk mengembangkan usaha ini pun ikut terbuka lebar.

Hingga saat ini, golf masih dianggap sebagai olahraga kaum berduit. Sebab, menggeluti olahraga ini membutuhkan modal tidak sedikit. Anda harus membeli peralatan seperti stik yang harganya jutaan. Untuk melakoni olahraga ini, Anda juga butuh lapangan khusus yang hanya bisa disewa. Pemilik lapangan golf rata-rata menerapkan sistem keanggotaan tahunan.

Meski demikian, animo orang untuk mempelajari golf tak pernah surut. Apalagi, seiring pertumbuhan jumlah masyarakat kelas menengah dan peningkatan daya beli, ongkos permainan golf menjadi tak terlalu mahal lagi di kantong kelompok masyarakat ini.

General Manager Brawijaya Driving Range , Debby Berlinawati mencermati, selain sebagai olahraga, biasanya, golf juga digunakan sebagai sarana menjamu klien bisnis. “Kalau mau proyek gol, kita harus mengikuti selera klien. Kalau klien mengajak golf masak ditolak? Tidak lucu juga, kalau kita dijamu klien tapi tidak bisa main golf. Makanya membutuhkan latihan,” jelas Debby yang juga seorang pegolf di Surabaya ini. 

Nah, pegolf pemula, biasanya,  akan canggung bila langsung bermain di lapangan golf yang luas. “Tampaknya hanya memukul bola saja, tapi itu tidak mudah, lo. Butuh latihan rutin,” jelas Debby. Nah, biasanya, para pegolf pemula ini memanfaatkan 
driving range untuk melatih pukulan mereka. 

Debby bilang, dengan bermain di
 driving range, pemula bisa berlatih tanpa harus mengikuti kursus. “Di lapangan, mereka bisa langsung sewa pelatih yang menemani selama latihan,” kata Debby. Di Brawijaya Driving Range Surabaya, tarif pelatih pendamping ini sekitar Rp 150.000 per jam. 

Pelatih golf profesional sekaligus pemilik Lets Golf School Jakarta, Sim Sang Hoon, bilang, keberadaan 
driving range sangat penting bagi olahraga golf. Orang yang baru belajar golf tidak mungkin langsung bermain di lapangan dengan 18hole. Mereka perlu melatih teknik dasar bermain golf di driving range. Bahkan, pemain profesional pun sering mendatangi tempat latihan ini untuk semakin memantapkan skill mereka. “Setelah cukup bisa, baru bermain di lapangan,” ujarnya. 

Pasar makin luas
Staf Happy Driving Range di Pekanbaru, Riau, Sri Rahayu Luvitaningsih bilang, saat ini konsumen yang memanfaatkan driving range tidak hanya orang dewasa yang ingin belajar golf. Anak-anak hingga remaja juga mulai melirik olahraga ini. “Tidak hanya eksekutif muda, tapi sudah menjamur sampai anak-anak,” kata perempuan yang akrab disapa Ayu ini. 

Pasar yang semakin luas inilah yang mendorong pemilik Happy Driving Range untuk mendirikan usaha ini di Pekanbaru, akhir tahun lalu. “Kebetulan, pasarnya semakin luas, dan di sini jumlah lapangan untuk
driving range masih terbatas,” ujar Ayu. Dalam sehari, rata-rata, Happy Driving Range bisa menghasilkan omzet Rp 3 juta hingga Rp 7 juta. Jika kita hitung, artinya, dalam sebulan Happy Driving Rage bisa mengantongi omzet sekitar Rp 90 juta hingga Rp 210 juta. 

Debby menambahkan, beberapa tahun terakhir, perempuan-perempuan muda juga mulai banyak yang gemar berlatih golf di 
driving range. “Olahraga ini semakin tren di kalangan perempuan. Tak heran kalau di Brawijaya di sini selalu penuh. Satu jam sebelum jam buka saja sudah banyak yang antre. Di Surabaya, golf memang sedang booming,” kata Debby.

Dalam sehari, Brawijaya Driving Range mampu menyewakan 5.000 bola hingga 10.000 bola golf. Tarif yang mereka kenakan adalah Rp 45.000 per 100 bola. Artinya, pendapatan per hari 
driving range ini bisa mencapai Rp 2,25 juta hingga Rp 4,5 juta atau Rp 67,5 juta hingga Rp 135 juta per bulan. 

 Pengamat Pemasaran Andre Vincent Wenas, menilai, bisnis
 driving range memang memiliki pangsa pasar yang luas. Tidak hanya menyasar orang yang hobi golf, driving range juga kerap dijadikan tempat berkumpul suatu komunitas tertentu. Ambil contoh komunitas pelari yang suka nongkrong di salah satu driving range di kawasan Senayan. Bahkan, tidak jarang, tempat ini digunakan untuk menghelat pertemuan bisnis sejumlah perusahaan tertentu.

Lokasi strategis
Meski pasar bisnis penyewaan lapangan golf driving range yang semakin luas, para calon investor di bisnis ini tetap saja harus memilih lokasi-lokasi yang strategis. “Kebetulan letak Brawijaya itu di pusat kota , dekat dengan pusat perbelanjaan dan tempat kursus atau bimbingan belajar,” kata Debby. Lokasi driving range yang strategis itu memberikan tempat bagi para suami atau bapak yang mengantarkan isteri berbelanja atau anak les bimbingan belajar untuk menghabiskan waktu. 
 
Namun, tentu, mencari lahan yang luas di tengah kota tidak mudah. Sebab, untuk membuka bisnis ini, calon investor membutuhkan lahan kurang lebih dua hektare (ha). Selain itu, areal golf juga harus menyediakan fasilitas restoran atau kafe, gerai peralatan golf, dan loker. “Penambahan fasilitas seperti cafe dan gerai penjualan peralatan golf ini bisa menambah pemasukan,” kata Debby. 

Usaha semacam ini cocok dibangun di kota-kota besar. Sebab, mau tidak mau, target pasarnya adalah kalangan menengah dan atas. Kota besar seperti Surabaya dan Pekanbaru merupakan daerah yang memiliki potensi besar sebagai tempat mengembangkan usaha ini. Selain peluang pasar di sana cukup luas, pemain usaha ini belum banyak. “Pemain bisnis 
driving range di Surabaya baru ada kami,” kata Debby.

Lahan-lahan yang berdekatan dengan pusat kota lebih menjanjikan untuk membuka usaha ini. “Sebab konsumen kita rata-rata orang sibuk yang ingin menyisihkan waktu buat olahraga. Jadi kalau terlalu di pinggir kota sulit mendapat konsumen,” jelas Debby. Ini berbeda dengan para pengusaha lapangan golf besar. Mereka membuka lahan jauh dari kota karena memiliki segmen tersendiri. 

Menurut Andre, untuk memilih lokasi yang pas, investor perlu mendekati kawasan perkantoran maupun permukiman mewah di pusat kota . Akses menuju lokasi juga harus memadai dan mudah dijangkau. “Jadi, pemain bisa kapan saja bermain. Bahkan, kalau di Jakarta , sambil menunggu macet reda, orang memilih main di driving range,” tuturnya. 

Modal besar
Modal yang dibutuhkan untuk membuka usaha ini jelas cukup besar. Angkanya bisa mencapai miliaran rupiah. Biaya pengadaan tanah atau lahan saja, baik dengan menyewa maupun membeli, sudah pasti miliaran rupiah. 

Masih dibutuhkan pula biaya pembangunan area 
driving range. Selain itu, untuk kenyamanan konsumen, area itu juga perlu dilengkapi kafe atau restoran, ruang ganti dan loker, serta gerai perlengkapan golf. Artinya, Anda juga harus berinvestasi di peralatan dan perlengkapan cafe dan gerai. “Investasi untuk perlengkapan golf sendiri tidak terlalu banyak,” kata Debby. 

Menurut Debby, peralatan yang dibutuhkan dalam satu 
driving range adalah: minimal 10 set stik golf , bola golf, golf car, dan rumput sintetis untuk area pukul bola. Sebuah driving range juga harus memiliki minimal satu golf car untuk mengambil bola di lapangan. Harga golf car ini bisa mencapai Rp 50 juta per unit. Sementara, belanja satu set stik golf tipe standar membutuhkan dana sekitar Rp 5 juta- Rp 6 juta. “Yang seken di pasar juga banyak,” kata Debby. Khusus bola, belanja pertama paling tidak harus 10.000 bola. Harganya bervariasi. 

Debby mengungkapkan, belanja bulanan sebuah 
driving range, sebenarnya, tidak banyak. Sebab, tidak ada pembelanjaan kebutuhan rutin yang terkait bisnis golf di luar restoran dan gerai peralatan golf. “Paling besar memang untuk pembayaran gaji karyawan dan listrik,” katanya. Setiap bulan, pembayaran listrik bisa menghabiskan Rp 20 juta - Rp 25 juta lantaran, setiap hari, driving range bisa ramai hingga tengah malam. 

Selain itu, ada pula biaya perawatan lapangan, mulai penyiraman, pemupukan, serta perawatan 
golf car.“Tidak perlu belanja bola secara rutin, sebab barang ini lebih awet dan bisa dipakai selama empat tahun. Cukup dicuci saja kalau kotor,” jelas Debby. 

Jika kita cermati, usaha ini memang membutuhkan modal dan sekaligus pengeluaran lumayan besar. Sementara omzetnya masih standar. Akan tetapi, usaha ini tetap menjanjikan dan layak untuk dikembangkan. “Kalau tidak untung tentu kami tidak bertahan hingga sekarang ini,” kata Debby. Asal tahu saja, Brawijaya Driving Range sudah berdiri sejak tahun 2000. 

Selain itu, bila tidak menjanjikan, tentu jumlah driving range di kota besar seperti Jakarta tidak akan sebanyak sekarang. Founder Pillar Business Acceleration, Lyra Puspa, yakin, bisnis golf akan semakin cerah seiring membaiknya kondisi perekonomian. Sebab, ia melihat, golf merupakan jenis olahraga yang identik dengan gaya hidup berkelas.

Meski peluang yang ditawarkan cukup menarik, Lyra berpesan agar investor berpikir matang sebelum terjun di bisnis ini. Selain investasi yang harus digelontorkan cukup besar, persaingan di bisnis 
driving range juga cukup ketat. Jumlah driving range yang kian menjamur bisa menjadi salah satu indikator persaingan itu. Ia menyarankan agar bisnis ini dijalankan oleh orang yang punya passion pada olahraga golf. Anda termasuk kelompok ini? 

ditulis oleh Fransiska Filana
Link : Kontan                

0 comments:

Post a Comment