Sedang asyik-asyiknya berkarier di perusahaan fashion kelas dunia di Singapura,
Susantie Alie terpanggil balik kampung untuk membenahi usaha keluarganya yang
nyaris ambruk di bisnis saus sambal yang menyasar pasar kelas bawah. Inilah
hasilnya.
Benda yang dibantingnya adalah salah satu inovasinya, saus sambal
Cabe Payung dengan kemasan bantal. Susanti memang tidak memiliki setitik pun
keraguan atas kekuatan produknya yang satu itu. Sebab, produk berkemasan bantal
itu telah teruji mengantarkan perusahaannya menapaki kembali jalan sukses
setelah sebelumnya tersungkur cukup dalam.
Berkat inovasi tersebut, plus usahanya yang tak kenal lelah
merambah area pemasaran baru, perusahaannya kini menikmati omset belasan miliar
rupiah per tahun. Ketiga merek saus sambal yang dipasarkannya pun menjangkau ke
seluruh pelosok Nusantara.
Beberapa tahun silam, apa yang diraihnya saat ini tidak pernah
terlintas di benaknya. Pada 2004, sebagai anak muda lulusan LCCI Shelton School
of Commerce, Singapura, Susanti tengah menikmati kariernya. Waktu itu ia
bekerja sebagai eksekutif pemasaran di Swarovski Corporate Limited, Singapura,
yang membidangi perhiasan dan fashion.
Saat itu pula, di usianya yang ke-28, ia dipanggil pulang untuk menyelamatkan
bisnis keluarga yang tengah porak-poranda lantaran orang kepercayaan mereka
meninggalkan perusahaan dengan membawa karyawannya.
Susanti, yang juga pernah bekerja sebagai sekretaris HRD di PT
Raja Garuda Mas dan di sebuah perusahaan multifinance,
tak punya banyak pilihan. Keempat saudaranya menetap di luar negeri. Tanpa
berpikir panjang, demi cintanya pada orang tua, anak ketiga dari lima bersaudara ini
langsung mengemas kopernya dan menuju Tangerang, tempat produksi bisnis
keluarganya.
Susanti memang berasal dari keluarga pengusaha. Ayahnya, Suparmin
Alie, pernah membesarkan usaha bangunan. Kemudian, pada 1980-an ayahnya juga
sukses membesarkan pabrik limun yang cukup terkenal bermerek Limun Bob di
wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Pada 1990-an, Suparmin juga berbisnis
toko bakery Bob D’Light ex Hawaii
Bakery. Selain itu, ayahnya pun memiliki bisnis restoran di Cilegon, Serang.
Sejalan dengan ayahnya, ibunya sejak 1990-an juga memiliki bisnis
sendiri, yaitu saus sambal merek Cabe Payung. Sayangnya, ketika itu anak-anaknya,
termasuk Susanti, tidak bisa membantu bisnis keluarga, karena sebagian masih
sekolah dan sebagian lagi sudah bekerja di tempat lain. Karena itulah, orang
tuanya lantas memercayakan bisnisnya kepada sepupu ibunya. Selain itu, ia juga
disekolahkan. Namun, ketika lulus, sang sepupu ini justru meninggalkan
perusahaan dan membuka usaha serupa dengan membawa serta karyawannya.
Menyadari gentingnya kondisi perusahaan, Susanti pun langsung
terjun ke perusahaan ibunya. Dari sana
Susanti melihat ada keanehan dalam laporan keuangan perusahaan. Omsetnya turun
drastis dan pengeluarannya tak jelas. “Ayah saya sempat mempertegas lagi,
apakah saya benar-benar serius ingin melanjutkan bisnis keluarga,”
tuturnya.
Pertanyaan ayahnya dijawab dengan keseriusannya meriset industri
produk konsumer, khususnya saus sambal, selama dua bulan. Tak segan dia turun
ke lapangan. “Di Muarabungo, Sumatera, saya survei ke lapangan. Mereka
bilang, itu ada artis dari Jakarta .
Boleh jadi karena kulit saya putih. Tetapi itulah yang saya lakukan. Itu
pekerjaan saya,” ujarnya. Dia juga pernah berhadapan dengan preman pasar
yang memecahkan botol-botol sausnya.
Pengorbanannya tak sia-sia. Dia menghasilkan temuan sederhana
tetapi tepat guna. “Saat itu kemasan saus masih didominasi sambal
botolan. Saya melihat potensi besar di pasar saus kemasan isi ulang,”
ujarnya seraya memaparkan tulang punggung perusahaannya adalah saus sambal
merek Cabe Payung.
Hasil risetnya lalu dipadukan dengan kekuatan perusahaannya.
“Bagaimana caranya saya bisa menjual produk ke luar Jakarta dengan aset yang ada,” ujarnya.
Keputusannya, perusahaan harus fokus menjual produknya dalam kemasan isi ulang.
Tujuannya, menekan biaya distribusi botol, menghilangkan biaya pembelian mesin
cuci botol dan memaksimalkan aset perusahaan. Perusahaannya kala itu hanya
memiliki satu truk. Jika dia menjual saus kemasan botol akan memerlukan banyak
truk. Ia juga menemukan, untuk memproduksi saus sambal isi ulang kemasan bantal
plastik, ia hanya perlu merogoh kocek Rp 30 juta, yakni untuk membeli mesin
pengemas buatan Surabaya.
Dengan kemasan bantal juga, satu karton yang berisi 24 bungkus
mudah dikirim ke luar kota .
Selain itu, pedagang dimudahkan menyimpannya karena tidak memakan tempat
sebanyak saus botol. “Mereka tidak susah-susah pakai peti. Tidak ada
botol somplak, botol pecah, per karton cuma 1,5 kg beratnya. Saya bisa
menurunkan berat kemasan dan menjual sampai ke luar pulau karena tidak harus
sewa-sewa botol,” kata Susanti.
Awalnya, pedagang pasar banyak yang menolak. Namun, Susanti tak
lelah menjelaskan produknya tahan banting, memiliki masa kedaluwarsa yang sama
dengan saus botol, higienis dan kualitasnya bagus. “Kami buat produk yang
benar-benar higienis. Kami cuci bersih tongnya setiap hari. Mesin pemasak, sore
harus dicuci dan harus diseduh dengan air panas. Dan, air di Cileungsi sini,
meski cukup bagus tetapi tetap kami filter beberapa kali. Bisa dibedakan, saus
kami tidak ada bintik-bintik karena kami pakai cabai segar. Kami pun punya
sertifikat halal,” tutur Susanti panjang lebar.
Seakan belum cukup memberikan jaminan, Susanti menambahkan,
perusahaannya memiliki izin mengelola saus dan produknya memakai pengawet dalam
batas normal. “Kami pakai pengawet impor dari Eropa yang benar-benar
diakui dunia dan itu tidak pernah diganti, even terjadi kenaikan harga.”
Demi efisiensi, Susanti meniadakan distributor internal dan
memilih pihak ketiga untuk menyalurkan produknya. “Unit distribusi
sendiri itu cost-nya
tinggi dan high risk, jika kurang kontrol, bisa
terjadi kecurangan, pungli, korupsi,” ujarnya. Atas pertimbangan itu, ia
memilih sistem multidistributor. “Mereka yang jualan, saya yang produksi.
Saya mau bagusin produk dan membangun link networking.”
Untuk membantu distributornya, Susanti menempatkan sales supervisor di area pemasarannya ditambah
menerapkan kendali harga. “Kalau langsung jual ke trader,
harga akan hancur. Harga saya di seluruh Jakarta
terjaga dengan Rp 33.500 per karton. Pedagang pasar bisa menjual Rp 1.500-2.000
per pieces.”
Dia cukup tegas mengelola distributornya. Pernah, ada distributor yang
main-main dengan menerapkan harga di bawah aturannya. Ia pun langsung
memutuskan kontrak dengan distributor tersebut.
Susanti tidak memasuki pasar modern, selain tidak mampu membayar listing fee,
juga merasa pasarnya tidak tepat. “Sekarang di Indonesia 70% masih pasar
tradisional, sisanya pasar modern dan horeka (hotel, restoran dan kafe),”
katanya. Dua tahun bertempur, penetrasi pasarnya dirasa sudah cukup mumpuni,
termasuk di area luar Pulau Jawa. Kini dia memiliki area penjualan lima wilayah Jakarta dan di
beberapa pulau di Indonesia .
Selain itu, pada 2006 dia mampu membeli tanah dan gedung untuk
pabriknya di Cileungsi dengan harga kurang dari Rp 1 miliar. “Kami pinjam
Rp 700 juta ke bank tapi terbayar dalam jangka waktu dua tahun,” ujarnya.
Dia pun memperkokoh positioning produknya. Dia memiliki tiga
merek. Cabe Payung untuk berkompetisi dengan merek Sari Sedap, Sari Wangi, dll.
Soka untuk segmen menengah, sementara Bob untuk segmen hotel, restoran dan kafe.
Kesuksesan pemasarannya bukan lantaran berpromosi di media massa . “Saya lebih
bermain ke below the line dengan memberikan hadiah untuk
ibu-ibu seperti sendok, piring, gelas, mangkok,” ucapnya. Pada bulan
puasa lalu, setiap beli minyak goreng Fortune, misalnya, konsumen mendapat
hadiah satu botol Sambal Soka. Dia juga menekankan upaya getok tular lewat
pasar tradisional. Selain itu, ia berencana memaksimalkan media sosial seperti
Twitter dan Facebook.
Kalaupun profilnya muncul di media massa, itu karena Susanti Alie
menjadi nominator 30 besar penerima Indonesia Young Entrepreneur
Award yang
diadakan British Council di tahun 2009 serta pemenang Ernst & Young
Entrepreneurial Winning Women 2011.
Broery Lazuardi, pemimpin perusahaan distribusi PT Mie 212,
mengaku puas menjadi distributor PT Bersama Olah Boga. Broery saat ini
mendistribusikan saus Cabe Payung dan tiga produk prinsipal lainnya ke seluruh
wilayah di Palembang .
“Saya memasarkan saus tomat dan saus sambal Cabe Payung dan saus Soka, PT
Amera untuk kecap merek Raos, PT Sari Rasa untuk produk mi dan bihun merek
Fitri,” ujar mantan tenaga penjual Darya-Varia di Palembang ini.
Broery memaparkan, banyak pedagang dan konsumen bersedia
mengonsumsi saus Cabe Payung karena memiliki sertifikat halal yang lengkap dan
memenuhi standar dari Departemen Kesehatan. “Awalnya, saya coba dulu
rasanya. Kedua, komunikasi dari manajer dan direkturnya mampu meyakinkan kami.
Dengan produk yang bagus dan komunikasi yang bagus, kami jadi lebih semangat menjualnya,”
ujar Broery yang sempat dua kali bertemu Susanti.
Bahkan, di luar dugaan Broery, Susanti sampai mengirim assessment manager untuk membantu Broery mengelola
penjualan saus Cabe Payung. “Luar biasa supporting mereka. Mereka juga mengatur
harga sedemikian rupa yang membuat harga stabil,” ujarnya.
Tiga setengah tahun lalu, Broery hanya memesan satu unit mobil
dengan kapasitas 8,5 ton saus Cabe Payung bernilai Rp 16-17 juta. Pada
tahun-tahun pertama satu unit mobil itu terjual selama dua bulan. Kini, dia
memesan langsung delapan mobil per bulan. “Kalikan saja, 8,5 ton x 8
mobil, dengan satu mobil Rp 16-17 juta,” ujar Broery yang mengaku
membayar dengan sistem kredit bertenggang 30 hari.
Broery mengungkapkan, saus Cabe Payung banyak digunakan
pedagang-pedagang mi ayam, bakso, agen-agen sosis, siomay, dll. yang membelinya
ke warung-warung sembako dan tukang bumbu. “Kami mendistribusikannya
lewat pasar tradisional.”
Jahja B. Soenarjo, CCO Direxion Strategy, memuji kehebatan Susanti
Alie. “Dia memang hebat karena orang tuanya hampir bangkrut. Dia
penerusnya, saya nilai dia risk taker sejati dan pekerja keras yang
mau turun ke bawah,” ujar Jahja.
Susanti juga dinilai Jahja sebagai sosok yang pintar dan luwes.
“Dia suka belajar dan terjun sendiri menemui pelanggannya. Itulah salah
satu ciri wirausaha sejati.”
Menurut Jahja, Susanti tidak bersaing dengan merek besar karena
masuk ke ceruk pasar isi ulang yang lebih spesifik. “Di jenis ini,
pemain-pemain baru pun mulai menggarapnya. Harga bersaing dan kualitas bagus.
Potensi di kelas bawah, khususnya segmen kuliner, sangat besar. Apalagi, sektor
ini selalu tumbuh pesat. Juga untuk rumah tangga kelas bawah.”
Jahja menyarankan Susanti tetap fokus di produk saus dan
diferensiasi produknya. Kedua, memperkuat lini penjualan dan penetrasi pasar.
Ketiga, membangun loyalitas jaringan. Keempat, membangun merek dan mulai
melakukan upscaling dengan kemasan yang lebih baik,
misalnya membuatsachet dan botol yang unik.
Susanti mengungkapkan, kini kerja kerasnya terbayar sudah.
Awalnya, perusahaannya hanya memproduksi empat ton saus sambal.
“Sekarang, bisa berlipat penjualan dibandingkan satu tahun pertama. Dalam
lima tahun
terakhir ini naik 16 kali lipat,” ujarnya. Omset per bulan pun kini
menembus Rp 1 miliar lebih, dengan 100 karyawan dan lima manajer.
Saat ini, Cabe Payung memang masih menjadi tulang punggung dan
menyumbang hingga 70% omset perusahaan, Soka 20% dan selebihnya Bob. Ke depan,
Susanti berambisi membesarkan pangsa pasar Saus Soka, meningkatkan omset
perusahaan, serta memperluas jaringan pemasaran. Ketika ditanya apa prinsip
suksesnya, ia menjawab cepat. “Prinsip saya, yang penting tetap sabar,
tekun, rendah hati dan selalu belajar.”
ditulis oleh Siti Ruslina dan Eddy Dwinanto Iskandar
Link : SWA
0 comments:
Post a Comment